Artikel/ Opini :
Berjudul : Utopia Ketahanan Pangan
Oleh : Ummu Muhammad (Aktivis Muslimah Bima)
Swasembada pangan menjadi salah satu target Presiden RI, Prabowo Subianto. Demi tercapainya target tersebut, Indonesia harus memiliki ketahanan pangan. Maka dari itu, pemerintah telah mengalokasikan dana sebanyak Rp139,4 triliun untuk mensukseskan ketahanan pangan di tahun mendatang. Anggaran ini akan disebar ke berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU). Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menjelaskan bahwa anggaran tersebut bertujuan untuk mendukung target swasembada pangan pada 2028-2029 (cnnindonesia.com, 30/10/2024).
Kapolres Bima, AKBP Eko Sutomo, S.IK, M.IK, berharap dapat mendukung program ketahanan pangan nasional. Menurutnya, ini sejalan dengan visi dan misi Presiden RI yang disebut dengan Asta Cita dalam menekankan pentingnya kemandirian pangan. Beliau menambahkan, Kapolri telah menginstruksikan semua jajaran di tingkat Mabes, Polda dan Polres untuk mendukung Asta Cita dan program-program pemerintah lainnya (sergap.co.id, 19/11/2024).
Kebijakan Gagal
Beberapa kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan, namun sayangnya masih seputar perkara teknis. Kita bisa melihat kebijakan dari sisi praproduksi, yaitu subsidi pupuk, bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), bantuan benih ikan dan pangan, serta KUR (Kredit Usaha Rakyat). Adapun dari aspek produksi, ada food estate, pembangunan jaringan irigasi, serta pengembangan kawasan padi dan jagung.
Kemudian dari aspek distribusi dan pemasaran, yaitu pembangunan pelabuhan, jalan tol, kereta api, usaha tani, cadangan pangan nasional, stabilitas pasokan dan harga pangan, revitalisasi pasar rakyat, hingga KUR UMKM. Sedangkan dari sisi konsumen, berupa kartu sembako, pemberian makan tambahan balita berisiko stunting, hingga Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menjadi janji presiden saat kampanye.
Namun, semua itu gagal dalam mewujudkan ketahanan pangan. Seperti munculnya persoalan dari penyaluran benih yang tidak merata maupun kualitas benih. Menurut Asosiasi Benih dan Teknologi Tani Indonesia (ABT2I), benih bersubsidi yang disalurkan kepada petani bukanlah benih berkualitas. Padahal kualitas benih menentukan 60% keberhasilan produksi pertanian.
Sama halnya dengan kebijakan food estate, contohnya di Kalimantan Tengah (Kalteng). Program ini gagal total dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Bukannya bertambah signifikan, produksi beras di Kalteng malah menurun. Menurut data BPS, produksi beras Kalteng pada 2023 hanya sebesar 763 ribu ton, turun sebanyak 17 ribu ton dibanding tahun sebelumnya.
Produksi beras nasional pun terus menurun. Berdasarkan data BPS, produksi beras nasional pada 2023 hanya sebesar 31,10 juta ton. Padahal di tahun 2022 mencapai 31,54 juta ton. Penurunan produksi beras seiring dengan pengurangan luas lahan panen dari 10,45 juta ha pada 2022 menjadi 10,20 ha pada tahun 2023. Salah satu penyebabnya adalah tingginya alih fungsi lahan pertanian.
Di sisi lain, kebutuhan beras semakin bertambah tiap tahun. Pada 2022 kebutuhan beras nasional sekitar 31,2 juta ton, kemudian di tahun berikutnya naik menjadi 31,5 juta ton. Jika dilihat dari data di atas, produksi beras pada 2022 melebihi kebutuhan beras nasional, tapi pada 2023 tidak terpenuhi. Artinya, berbagai kebijakan pemerintah telah gagal menambah produksi beras.
Sayangnya, produksi beras yang menurun tidak membuat pemerintah meningkatkan produktivitas pertanian, melainkan malah membuka keran impor. Bahkan ketika surplus beras pada 2022, pemerintah malah mengimpor sebanyak 429 ribu ton beras. Kemudian pada 2023, pemerintah menaikkan volume impor beras hingga 613,61%, yakni hingga 3,06 juta ton.
Pemerintah berdalih bahwa impor beras tersebut untuk mengatasi kelangkaan. Namun realitanya, pemerintah telah menyulitkan petani karena beras petani yang semestinya diserap pasar malah tak laku karena pasar dibanjiri beras impor. Bahkan harganya melambung sehingga banyak warga miskin yang tidak mudah mendapatkannya.
Fokus kebijakan ketahanan pangan juga cenderung pada aspek konsumsi. Contohnya program Makan Bergizi Gratis, kartu sembako dan lainnya. Implementasi kebijakan sangat rumit sehingga penyesuaiannya akan sulit dan berpotensi menjadi ladang korupsi. Ini dikarenakan besarnya anggaran tetapi sasaran belum jelas. Akibatnya, program tersebut terkesan hanyalah politik pragmatis.
Perihal bantuan pangan, jauh dari kata solutif disebabkan penerapan kebijakan yang kacau. Bantuan tidak tersalurkan karena adanya kesalahan data hingga korupsi. Selain itu, politik pencitraan justru makin menjauhkan terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat secara merata.
Kebijakan Kapitalistik
Jika dianalisa, yang menjadi sebab kegagalan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah dasar pijakannya yang kapitalistik. Sistem politik kapitalisme menihilkan peran negara sebatas menjadi regulator dan fasilitator. Hal ini membuat negara tidak memiliki tanggung jawab untuk mengurus urusan rakyatnya dan menyerahkan berbagai urusan rakyat pada korporasi.
Apabila diserahkan kepada swasta, maka orientasi kebijakan bukan lagi pada kemaslahatan rakyat melainkan keuntungan perusahaan. Selain itu, penguasa dalam sistem kapitalisme demokrasi bekerja untuk oligarki, bukan demi rakyat. Akibatnya, berbagai kebijakan akan menguntungkan segelintir elit dan menzalimi rakyat banyak.
Solusi Ketahanan Pangan dalam Islam
Upaya sistem Islam dalam meraih ketahanan pangan di antaranya sebagai berikut:
_Pertama_, Islam mengatur masalah lahan pertanian dengan menjamin ketersediaan lahan pertanian dan tidak membiarkan lahan subur mengalami alih fungsi lahan. Negara juga tidak membiarkan lahan pertanian mati (tidak digarap pemiliknya) selama lebih dari tiga tahun. Jika terjadi demikian, negara akan mengambilnya dan memberikan kepada orang yang mampu mengelolanya.
_Kedua_, negara akan membuat kebijakan industri berbasis industri berat. Ini sejalan dengan politik industri Islam yang mengarah pada kemandirian industri dengan membangun alat-alat produksi untuk menopang teknologi pertanian.
_Ketiga_, negara memfasilitasi kemandirian riset pangan dan teknologi untuk meningkatkan produksi pangan masyarakat, bukan untuk bisnis atau keuntungan oligarki.
_Keempat_, anggaran untuk kebijakan-kebijakan tersebut diambil dari baitulmal yang telah diatur sesuai dengan syariat Islam. Bukan dengan berutang pada negara kafir dengan basis ribawi.
_Kelima_, negara mengatur distribusi pangan dengan dua cara, yaitu mekanisme harga dan nonharga. Mekanisme harga maksudnya adalah negara memastikan harga pangan di pasar stabil dan terjangkau.
Negara melakukan pengawasan pasar hingga tidak terjadi penimbunan barang, kartel, penipuan dan sebagainya. Saat negara menemui ketidakseimbangan penawaran dan permintaan, negara mengambil langkah intervensi pasar, seperti menyuplai barang yang langka. Masyarakat miskin dan tidak mampu diberlakukan kebijakan nonharga. Negara akan memenuhi seluruh kebutuhan pokok selama mereka kesulitan bekerja, semisal karena sakit atau cacat.
_Keenam_, negara memperhatikan agar kebijakan impor tidak membuat produktivitas pertanian menurun dan merugikan rakyat. Negara tidak akan melakukan kerjasama dagang dengan negara kafir harbi fi’lan atau negara kafir yang telah jelas memusuhi kaum muslim, seperti AS, Cina, dan entitas pendudukan Yahudi. Kebijakan impor hanya diambil ketika kondisi krisis seperti saat paceklik.
Semua solusi ini bisa terwujud apabila negara menjadikan Islam sebagai solusi fundamental. Islam menjadi rujukan solusi dengan keberadaan sistem pemerintahan Islam yang menjadikan Islam sebagai dasar penentu kebijakan. Wallahu a’lam.
(***)
COMMENTS