![]() |
Oleh : SYARIFUDDIN, M. Pdi |
Slide hasil FGD Kemendikbud bocor ke publik; inilah trend topic berita di media sosial pekan lalu. Slide tersebut menampilkan rencana penggabungan mata pelajaran Pendidikan Agama dengan Kepercayaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sontak masyarakat heboh. Para guru, aktifis serta pemerhati Pendidikan Agama Islam (PAI) protes. Media sosial diramaikan dengan protes atas rencana penggabungan mata pelajaran penting tersebut.
Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) secepat kilat menyampaikan surat resmi meminta klarifikasi rencana tersebut. Dr. Mahnan Marbawi; Ketua DPP AGPAII berpandangan bahwa penggabungan mata pelajaran Agama dengan kepercayaan dan PKn akan mereduksi substansi pendidikan agama, di samping akan mengkerdilkan Pancasila itu sendiri. Pendidikan Agama agar tetap berdiri sendiri, jangan sampai digabungkan dengan PKn.
Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap tuntutan ini?
Kemendikbud menjawab cepat tuntutan tersebut. Melalui siaran pers nomor 141/sipres/A6/VI/2020 Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan menegaskan tidak ada rencana peleburan mata pelajaran Pendidikan Agama dengan kepercayaan dan PKn. Press release ini menguatkan pernyataan Kepala Balitbang Kemendikbud bahwa rencana tersebut telah dibatalkan. Namun informasi ini telah menyebar sedemikian rupa ke berbagai lapisan masyarakat, sehingga bantahan hanya tinggal bantahan. Karena isu agama ini begitu sensitif. Terlebih berita ini muncul beberapa saat setelah tersebarnya penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menghebohkan.
Pendidikan Agama; amanat Undang-undang
Pasal 29 UUD 1945 mengamantkan bahwa Negar berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Amanat UUD 1945 ini secara jelas menunjukkan bahwa masyarakat berhak menjalankan keyakinan agamanya. Keyakinan beragama diperoleh melalui pendidikan agama, baik pendidikan formal maupun informal dan non formal. Oleh karena itu Pendidikan Agama wajib diberikan sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Tujuannya tentu agar masyarakat memahami agama agar dapat menjalankan keyakinannya.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 juga secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman, bertakwa serta berakhlak mulia. Dikuatkan dengan susunan mata pelajaran yang wajib disajikan pada jalur pendidikan dasar dan menengah. Pasal 37 ayat 1 UU Sisdiknas menegaskan bahwa kurikulum wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa dan seterusnya. Ada dua hal penting yang perlu digarisbahawi di sini; yaitu tujuan pendidikan yang menitipkannya kepada pendidikan agama. Karena tanpa pendidikan agama mustahil insan beriman, bertakwa dan berakhlak mulia akan terbentuk. Kedua, kurikulum pendidikan agama berdiri sendiri tidak ada isyarat digabungkan. Karena ditulis dengan poin berbeda dengan PKn. Aliran kepercayaan bahkan tidak disebut-sebut.
Namun pada perkembangan selanjutnya, seiring diberlakukannya Kurikulum Tahun 2013, mata pelajaran pendidikan agama ditambah dengan budi pekerti. Pesannya agar peserta didik memiliki budi pekerti mulia. Padahal sesungguhnya akhlak mulia sudah include dalam materi pendidikan agama. Jadilah namanya kini Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (PA BP). Hal ini tertuang dalam Satandar Isi; Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016.
Apa alasan PAI tetap berdiri sendiri?
Ada sejumlah argumen yang dapat dikemukakan. Pertama, Pendidikan Agama merupakan mata pelajaran utama, sebagai pengejewantahan nilai-nilai sila pertama Pancasila dan dasar Negara. Posisinya selalu pertama. Baik dalam susunan mata pelajaran, nilai rapot, nilai ijazah serta dokumen pendidikan lainnya. Bila pendidikan agama digabungkan dengan mata pelajaran lain, akan mengaburkan perannya, juga mengkerdilkan mata pelajaran yang digabunginya. Bila PA dibagung dengan PKn, maka akan mengkerdilkan Pancasila itu sendiri. Padahal Pancasila adalah dasar Negara, yang harus diajarkan sejak dini kepada peserta didik.
Kedua, muatan materi PA padat. Terutama materi Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki substansi materi yang luas. Dalam PAI ada 5 materi utama; yaitu Al-Qur’an, aqidah, akhlak, fiqh dan tarikh. Setiap materi memiliki cakupan yang luas. Oleh karena itu di madrasah (MI, MTs, MA) kelima materi ini berdiri sendiri dengan alokasi tersendiri pula. Sementara pada sekolah umum hanya menjadi satu mata pelajaran; yaitu PAI. Dengan bobot materi yang padat ini sering kali menjadi keluhan para guru. Bagaimana menyiasatinya agar materi PAI tersajikan dengan baik di sekolah. Lahirlah ide untuk melaksanakan program pembiasaan akhlak mulia setiap hari agar membantu internalisasi nilai pendidikan agama. Di samping itu, guru PAI melalui organisasi profesi (KKG, MGMP, AGPAII, Pokjawas) sudah cukup lama menyuarakan kekurangan jam pelajaran ini kepada pemerintah. Maka pada Kurikulum Tahun 2013 alokasi waktu untuk mata pelajaran PAI bertambah. Untuk SD dari semula 3 JP menjadi 4 JP/pekan. Sementara untuk SMP, SMA, SMK dari 3 menjadi 4 jam pelajaran setiap pekan.
Ketiga, PAI dititipi muatan tambahan. Pendidikan budi pekerti sudah lama diintegrasikan dengan PAI. Demikian pula pendidikan anti korupsi, pendidikan lingkungan, pendidikan anti terorisme (deradikalisasi) seringkali dititipkan pada mata pelajaran pendidikan agama. Mengingat hal-hal tersebut lebih dekat bahkan senyawa dengan PAI. Para guru dilatih untuk menerima integrasi materi ini agar diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. Dengan dititipi sejumlah muatan materi ini, tentu akan mengurangi proporsi materi utama PAI. Sajian materi PAI akan semakin dangkal. Akhirnya guru hanya menyajikan materi sekadarnya karena kurangnya alokasi waktu.
Lalu bagaimana kalau ada penggabungan Pendidikan Agama dengan Kepercayaan dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan? Tentu hal ini akan semakin memperdangkal pendidikan agama. Peserta didik makin tidak paham dengan ajaran agamanya. Lama-lama mereka akan awam terhadap agama dan tidak dapat menjalankan keyakinannya sebagai umat bergama. Padahal menurut data statistik anak yang sekolah di sekolah umum jauh lebih besar; sekitar 70%. Selebihnya belajar di madrasah. Bila peserta didik tidak mendapat pendidikan agama yang cukup, maka dapat dibayangkan lulusan model apa yang dihasilkan. Lebih jauh, model masyarakat apa yang hidup bila tidak dibekali pendidikan agama.
Dengan demikian penulis menguatkan tidak perlu ada rencana penggabungan Pendidikan Agama dengan apapun. Biarkan PAI tetap berdiri sendiri. Begitu banyak argumen yang menguatkan hal ini. PAI HARGA MATI, begitu kata para guru agama di sekolah. Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi salah satu referensi bagi pemerintah untuk tidak mencoba-coba mengutak-atik pendidikan agama di sekolah.
Semoga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, yang diperhitungkan di kancah dunia internasional. Bangsa yang memiliki landasan iman dan takwa yang kuat serta diwarnai akhlak mulia yang nyata dalam kehidupannya. Aamiin.
Penulis : SYARIFUDDIN, M.PdI
Dosen STKIP Taman Siswa Bima
Wakasek Humas SMP Negeri 14 Kota Bima
COMMENTS