
Foto : Adi Hidayat Argubi.
Oleh : Adi Hidayat Argubi, S. Sos, SST.Par, M.Si
Di Bima yang kota kecil ini persoalan politik terkait pemilu 2024 tidak hanya menjadi topik diskusi akademisi di kampus tetapi juga menjadi isu diskusi panas termasuk dimedia sosialnya masyarakat Bima. Pro dan kontra terkait keberpihakan presiden pada pemilu kali ini juga tidak luput dari pembicaraan. Harapan Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan terus disuarakan oleh berbagai kalangan walaupun juga ada yang pro. Netralitas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai banyak yang mempertanyakan di tengah dugaan bahwa Jokowi mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Banyak tokoh yang secara aktif menyuarakan keprihatinan terhadap berbagai situasi politik dan mengadvokasi pemilu yang jujur dan adil.
Serangkaian masalah etika dan demokrasi telah muncul sebagai akibat dari keterlibatan Presiden Jokowi dalam proses pemilu, terutama dengan mendukung pencalonan putranya. Ini mencakup tuduhan bahwa program bantuan sosial, atau bansos, telah dipolitisasi dan bahwa pemerintah dimanipulasi untuk kepentingan politik. Tindakan seperti itu dapat merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip dan manipulasi sistem yang dibangun untuk kesejahteraan masyarakat. Polititisasi bansos, atau program bantuan sosial, yang dilakukan oleh Jokowi dan partai koalisinya sangat memprihatinkan.
Ada kekhawatiran bahwa dukungan politik akan ditarik melalui program-program ini, yang pada awalnya dimaksudkan untuk membantu segmen masyarakat yang paling rentan. Potensi penyalahgunaan ini menimbulkan pertanyaan tentang standar etika pemerintahan dan mengancam untuk menghancurkan keyakinan masyarakat terhadap sistem kesejahteraan negara. Selain itu, spekulasi bahwa sumber daya dan staf negara dikooptasi untuk kampanye politik memperparah krisis keadilan demokratis di Indonesia. Situasi seperti ini tidak baru dalam sejarah masyarakat demokratis; pencampuran kepentingan politik dengan mesin negara seringkali menyebabkan masalah. Namun, di Indonesia, kekhawatiran ini semakin meningkat karena situasi unik di mana putra presiden berlomba-lomba untuk mendapatkan peran politik yang signifikan. Ini menunjukkan keseimbangan yang sulit antara kesetiaan terhadap keluarga dan tanggung jawab negara.
Ada peningkatan skeptisisme terhadap cara Presiden Jokowi menangani situasi politik ini. Banyak orang mendukung Prabowo Subianto, terutama setelah debat ketiga, karena mereka melihatnya sebagai figur partisan daripada pemimpin negara yang netral. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa Presiden Jokowi tampaknya menjadi juru kampanye Prabowo Subianto. Persepsi ini merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu yang tidak memihak dan menantang kredibilitas lembaga kepresidenan.
Dalam situasi saat ini, tugas kepresidenan, yang menuntut keseimbangan yang ketat antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab nasional, tampaknya berada dalam kondisi yang menantang. Isu ini melampaui pertimbangan moral tentang keterlibatan politik seorang keluarga dan mencakup masalah yang lebih luas tentang tata kelola pemerintahan, akuntabilitas, dan peran lembaga publik dalam menjaga demokrasi. Penggunaan aparatur negara untuk kampanye politik tidak hanya mengganggu demokrasi, tetapi juga merusak etika pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang adil. Kurangnya netralitas pemerintah yang saat ini tanpak telah mendorong peningkatan partisipasi warga negara.
Berbagai seruan untuk presiden bersikap netral terkait penyelenggaran Pemilu yang semakin menguatn saat ini yang sebagian pengamat melihat seruan tersebut umumnya lebih dikaitkan pada aspek etika. Di sisi lain ada pengamat melihat persoalan ini bukan soal etika. Pertanyaan mereka adalah etika apa yang dilanggar sementara Undang-Undang membolehkan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 281 mengatur bahwa presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota boleh terlibat dalam kampanye peserta pemilu dengan sejumlah syarat. Syarat-syarat itu di antaranya tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Semua pejabat publik dalam konteks ini dalam berkampanye harus mengajukan cuti di luar tanggungan negara, dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah. Berarti dalam konteks ini yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana presiden bertindak sebagai pejabat publik versus pejabat politik? Ketika presiden dan menteri pembantunya membagikan bansos, siapa yang bisa membedakan bahwa tindakan mereka sebagai pejabat negara tidak berdampak pada kampanye kandidat presiden yang didukungnya.
Presiden, menteri, bupati, dengan semua fasilitas dan kekuatan mereka, memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mempengaruhi pemilih dengan cara yang tampaknya “biasa”, tetapi sebenarnya tidak biasa. Misalnya, bansos yang diberikan kepada masyarakat dianggap sebagai “hadiah dari presiden”. Ini terjadi meskipun presiden sebenarnya bertindak sebagai politikus yang mendukung calon presiden tertentu.
Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa presiden dapat berkampanye dan memihak dalam pemilu. Presiden bukan hanya pejabat publik; mereka juga pejabat politik. Presiden, orang paling berpengaruh di Indonesia, menyatakan bahwa menteri dapat memihak dan berkampanye. Presiden Jokowi menyatakan bahwa hal yang paling penting adalah para pejabat pemerintah tidak menggunakan fasilitas negara saat berkampanye. Menjadi pertanyaan adalah apakah Jokowi saat menyampaikan hal tersebut bertindak sebagai presiden atau sebagai politikus saat mengucapkan pernyataan ini. Demikian juga dengan Prabowo Subianto, apakah ketika bersama Jokowi bertindak sebagai Menteri Pertahanan atau sebagai calon presiden yang sedang berkontestasi ketika dia mendampingi presiden. Hal ini penting karena baik Jokowi maupun Prabowo ketika pernyataan itu disampaikan sedang melaksanakan tugas sebagai sebagai presiden maupun menteri pertahanan.
Berbagai fenomena yang mengarah pada pertanyaan publik terkait netralitas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilu 2024 melahirkan berbagai kecaman dan pernyataan sikap dari berbagai pihak termasuk berbagai kampus terkemuka di Indonesia. Berbagai kecaman tersebut coba saya rangkum dari berbagai media seperti Kompas.com seperti sikap pernyataan yang disampaikan oleh sejumlah guru besar di UI, UGM, dan UII terkait sikap Jokowi dan kondisi demokrasi jelang Pemilihan Presiden (pilpres) 2024: 1. Sepeti Deklarasi Kebangsaan Universitas Indoinesia yang menyinggung keserakahan atas nama pembangunan. Sivitas akademika UI melihat bahwa demokrasi saat ini sudah terganggu setelah adanya perebutan kekuasaan yang dinilai nihil etika jelang Pilpres 2024. Mereka mengaku prihatin atas tergerusnya tatanan demokrasi di Indonesia. Pihaknya mengaku resah dan geram atas sikap dan tindak laku para pejabat, elit politik, dan hukum yang mengingkari sumpah jabatan mereka untuk menumpuk harta pribadi. Selain itu juga membiarkan negara tanpa tatakelola dan digerus korupsi, yang memuncak menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Para sivitas akademika UI juga menyinggung soal keserakahan pemerintah dengan dalih pembangunan yang berdampak pada kepunahan sumber daya alam. Sivitas akademika UI juga menyampaikan empat poin utama yang yang menjadi tuntutan mereka, yaitu mengutuk segala bentuk tindakan yang menindas kebebasan berekspres, menuntut hak pilih rakyat dalam pemilu dapat dijalankan tanpa intimidasi dan ketakutan, berlangsung jujur dan adil, menuntut agar semua ASN, Pejabat Pemerintah, TNI, dan Polri dibebaskan dari paksaan untuk memenangkan salah satu paslon serta menyerukan agar semua perguruan tinggi di seluruh tanah air mengawasi dan mengawal secara ketat pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di wilayah masing-masing.
Sementara Universitas Gajah Mada melalui Petisi Bulaksumur UGM menyatakan Jokowi lakukan penyimpangan moral demokrasi. Hal ini menarik karena Jokowi merupakan alumni Universitas Gajah Mada yang mana menurut sivitas UGM menilai alih-alih Jokowin mengamalkan dharma bhakti almamaternya dengan menjunjung tinggi Pancasila dan berjuang mewujudkan nilai-nilai di dalamnya, tindakan Presiden Jokowi justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan pada prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila.
Harus dipahami bahwa Petisi Bulaksumur merupakan respons UGM terkait sikap Jokowi yang dinilai mulai terang-terangan menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu pasangan capres cawapres. Sivitas UGM menyampaikan penyesalan atas tindakan menyimpang yang terjadi selama pemerintahan Jokowi. Sebagian orang menganggap Jokowi telah melanggar moral demokrasi, seperti melanggar etika di Mahkamah Konstitusi (MK) dan terlibat dengan banyak aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan. Selain itu, mereka menyinggung pernyataan Jokowi tentang netralitas dan keberpihakan presiden kepada salah satu paslon serta keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik. Mereka menuntut Jokowi agar kembali ke koridor demokrasi dan mendesak DPR serta MPR untuk mengambil sikap terkait gejolak politik Indonesia saat ini.
Akademisi UII turut memberikan pernyataan sikap dan pernyataan yang disampaikan dalam “Indonesia Darurat Kenegarawanan”. Menariknya, pernyataan sikap tersebut langsung dibacakan oleh Rektor UII Prof Fathul Wahid dan dihadiri para guru besar, dosen, mahasiswa dan para alumni UII. Rektor UII menyampaikan bahwa situasi politik di Indonesia kian menunjukkan nihilnya rasa malu terhadap praktik penyalagunaan kewenangan dan kekuasaan. Rektor dengan berani menyebut, kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara. Akibatnya, demokrasi Indonesia kian mengalami kemunduran.
Pernyataan Rektor UII menyinggung sikap Jokowi yang dinilai kehilangan sisi kenegarawannya sebagaimana dilansir dari Kompas.com “Kondisi ini kian diperburuk dengan gejala pudarnya sikap kenegarawanan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo,”. Indikator utamanya adalah terkait pencalonan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapresnya Prabowo Subianto. Apalagi, pengusungan Gibran melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 sarat dengan intervensi politik yang terbukti melanggar etika. “Gejala ini kian jelas ke permukaan saat Presiden Joko Widodo menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak,”. Bansos yang diberikan oleh Jokowi juga ditengarai sarat dengan kepentingan politik untuk memperkuat dukungan terhadap salah satu paslon capres cawapres. Situasi tersebut, menurut beliau hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat kenegarawanan yang bisa berujung pada ambruknya sistem hukum dan demokrasi. Tidak hanya dari tiga kampus ini yang sudah memberikan petisi kepada pemerintah, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjajaran, Universitas Andalas, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Mulawarman dan berbagai kampus lainnya telah memberikan sikap sebagai alarm yang perlu didengar.
Tentu berbagai pernyataan sikap dari berbagai kampus terkemuka di Indonesia ini harus dilihat oleh Presiden Jokowi sebagai teguran yang sangat keras. Hal ini menggambarkan apa yang dilakukan Presiden Jokowi dianggap tak bisa lagi ditolerir. Sebelumnya presiden dianggap “terlibat” ketika menggunakan MK untuk kepentingan kekuasaan terutama untuk kepentingan putranya yang kemudian maju sebagai cawapres. Menurut penulis, seharusnya setelah berhasil mengantarkan putranya maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto di pemilu 2024 presiden menghindari terlibat aktif dengan mempertontonkan keberpihakannya kepada pasangan Prabowo Subianto dan Gibran baik lewat pernyataannya maupun melalui aktivitasnya serta memanfaatkan program bansos untuk mengkampanyekan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran yang terus dipertontonkan kepada publik termasuk oleh menteri pendukungnya. Biarkan instrumen kekuasaan yang ada dalam gengamannya berjalan sesuai dengan kendalinya tanpa harus turun langsung dengan menunjukkan keberpihakannya. Hal ini penting karena publik belum sembuh benar dari “luka” karena presiden tampak terlihat “terlibat” ketika menggunakan MK untuk kepentingan kekuasaan terutama untuk kepentingan putranya yang dinilai melanggar etika.
Sebagai bentuk rasa cinta kepada Presiden Jokowi, saya melihat bahwa berbagai seruan dan pernyataan sikap yang disampaikan para akademisi serta ilmuwan ini tidak dapat dipandang sebelah mata, karena ini merupakan gerakan moral alias tidak ditunggangi kepentingan politik karena kampus bebas kepentingan politik. Maka menurut hemat saya, pemerintahan Jokowi jika pemerintah masih memiliki hati nurani dan mencintai negara ini, maka harus berubah dan memperbaiki semua serta memastikan bahwa pemilu berlangsung jujur, adil, tanpa rasa takut, intimidasi dan tekanan. Biarkan para kontestan pemilu bersaing secara jujur dan adil dan menyerahkan kepada pilihan rakyat. Presiden Jokowi juga tidak bisa bersikap santai seperti ketika menerima kritikan Butet Kertaradjasa melalui orasi dan pantunnya, atau ketika mendapat surat terbuka kritik dari Goenawan Mohammad serta membaca syair puisi dari KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus yang dibacakan pada acara Gelar Sastra Jawa Tengah 2023 di Taman Budaya Jawa Tengah Solo. Tetapi melihat ini sebagai “lampu merah” peringatan untuk berhenti dan menunjukkan sisi kenegarawannya.
Diakhir tulisan ini, saya melihat bahwa pada kasus Presiden Jokowi saat ini, Presiden, menteri, dan pejabat publik lainnya seharusnya dilarang secara tegas untuk berpartisipasi dalam kampanye politik. Semua pejabat publik, terutama presiden, harus netral. Mereka tidak boleh berada di wilayah abu-abu selama Pemilu. Mereka harus memilih, tetap di pemerintahan, atau keluar dan menjadi politikus murni. Harapan publik adalah bahwa presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok, bukan hanya untuk kelompok tertentu. Presiden Jokowi dan aparatur pemerintahan berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan memanfaatkan dan mengerahkan sumber daya negara untuk kepentingan politik pragmatis. Ini termasuk menghindari politisasi dan personalisasi bantuan sosial. Selain itu, capres, cawapres, menteri, dan kepala daerah yang bekerja sama dengan baik harus mengundurkan diri untuk menghindari konflik kepentingan. Karena itu, menurut penulis substansi UU Pemilu yang berkaitan dengan netralitas ini harus diubah. Jika tidak, maka UU Nomor 7 Tahun 2017 dan penjelasannya, yang berjumlah 590 halaman, tidak akan pernah memungkinkan pemilihan yang jujur. Netralitas akan selalu hanya menjadi utopia.
* Kepala Badan Penjaminan Mutu Universitas Mbojo Bima
COMMENTS